Source:3tdesign.edu.vn
Lp-pwnudiy.com, Yogyakarta– Semangat ekonomi pada dasarnya mendorong manusia untuk saling menolong dan saling membantu antar sesama. Jika kemudian mengacu dan mengingat kembali pada konsepsi barter pada dasarnya nampak jelas bahwa seseorang saling melakukan tukar menukar barang atas dasar saling membutuhkan dan saling rela. Artinya kemudian konsepsi ekonomi tersebut dapat terlihat bahwa awalnya memang adanya transaksi antara penjual dan pembeli tidak didasarkan pada menguntungkan salah satu pihak (penjual atau pembeli saja). Sehingga kemudian hal yang menarik untuk dibahas dan digaris bawahi adalah kebermanfaatan dan tolong menolong dalam ekonomi. Jika kembali menggunakan analogi penjual dan pembeli maka konsepsi ekonomi tidak hanya memberi kebermanfaatan pada kegiatan CSR atau berderma dalam membantu sesama. Namun hal tersebut harus diterapkan pada setiap kegiatan ekonomi.
Selaras dengan hal tersebut pada dasarnya Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menawarkan konsepsi ekonomi dan sufisme. Pada dasarnya ekonomi dan sufisme seakan dipandang menjadi dua sisi yang berbeda. Menurut Imam Ghazali ekonomi menjadi salah satu jalan untuk mendapat keridhoan dan keberkahan dari Allah SWT. Dengan demikian konsepsi tersebut selaras dengan landasan bahwa ekonomi harus mengacu pada tolong menolong dan tidak merugikan satu pihak. Sufisme ekonomi juga mengajarkan untuk menjadikan harta benda hanya menjadi sebuah alat yang kemudian mampu mewujudkan kesejahteraan jangka pendek (dunia) dan kesejahteraan jangka panjang (akhirat). Jika diibaratkan dengan investasi setidaknya seorang manusia akan mendapatkan dua return. Namun sebenarnya tetap pokok yang harus digaris bawahi adalah tolong menolong dengan ekonomi dan menjadikan harta hanya sebagai alat mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Kahfi ayat 46
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا ٤٦
Artinya:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang abadi (pahalanya) adalah lebih baik balasannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. Di antara contoh amal kebajikan yang abadi pahalanya adalah melaksanakan rukun Islam dengan benar dan membaca tasbih, tahmid, dan zikir-zikir lainnya.”
MENJADI KAYA
Arti dan pemaknaan kata sufisme seringkali dikomparasikan dengan tidak suka harta atau bahkan meninggalkan keduniaan. Pada dasarnya konsepsi sufisme adalah tidak meletakkan uang atau harta berada dalam hati namun hanya berada pada tangan. Jika kemudian harta benda hanya berada di tangan artinya dengan mudah seseorang dapat memberikannya kepada orang lain. Namun perlu dimengerti dan dipahami lebih dalam bahwa sebelum mendorong semangat untuk berderma hal paling penting adalah menjadi kaya. Sebenarnya menjadi kaya bukan suatu hal yang salah. Akan tetapi persoalannya adalah jalan menjadi kaya menjadi cukup variatif. Variatifnya jalan menjadi kaya raya memang memungkinkan adanya kesalahan yang dilakukan oleh setiap individu untuk memudahkan dan memperlancar dirinya menjadi kaya.
Sebab keadaan seperti itu nampaknya sudah menjadi salah satu rahasia umum. Sehingga memang hal tersebut akan menjadi kebebasan bagi setiap individu untuk dapat memilih jalan kaya masing-masing. Jika kita ingat kembali bahwa harta adalah alat untuk mencapai return dunia dan akhirat maka jelas sudah bahwa jalan yang harus dipilih adalah jalan yang mampu menghantarkan untuk mendapatkan dua return tersebut. Artinya konsepsi kaya tidak lepas dari bagaimana kemudian seseorang mengumpulkan harta tersebut dengan benar dan tepat. Tuntutan tersebut sangat jelas disabdakan Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 172 yang berbunyi
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ ١٧٢
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah apa-apa yang baik yang Kami anugerahkan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya.”
Sehingga memang perintahnya adalah memakan rezeki yang baik yang telah diberikan Allah.
MERASA CUKUP
Selaras pula dengan konsepsi sufisme ekonomi bahwa kecukupan akan menjadi hal penting. Sebab kemudian kekayaan yang dimiliki hanyalah sebagai salah satu jalan untuk mencapai keridhaan Allah SWT. Merasa cukup kemudian akan mengacu pada tingkat kepuasan seseorang setelah memiliki harta atau kekayaan. Kecukupan menjadi menarik dibahas sebab mengingat bahwa pada era ini tampaknya menjadi kaya hanyalah tujuan akhir. Sehingga kenyataan tersebut mendukung masifnya fenomena korupsi serta beberapa fenomena-fenomena lain yang terjadi sebab mencari kekayaan. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa tujuan yang dicapai hanyalah tujuan jangka pendek atau return dunia. Pentingya menjadi cukup bagi seorang muslim setidaknya juga mengacu pada rasa syukur atas pemberian Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 7 yang berbunyi
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ٧
Artinya:
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.”
Jika mengacu pada ayat tersebut maka perintah bersyukur menjadi sangat jelas bagi orang yang beriman. Rasa syukur juga akan berpengaruh pada minat berderma bagi seseorang. Sebab kemudian, dengan menjadi kaya setidaknya seseorang tidak akan merepotkan orang lain, selepas itu dengan memiliki rasa syukur kekayaan yang dimiliki akan dengan mudah diberikan atau dialokasikan. Sebab dalam konsepsi ekonomi Islam harta sebaiknya berputar atau tidak hanya mengendap pada satu orang atau satu kelompok tertentu. Rasa syukur dan rasa cukup tentu dapat mendukung hal tersebut. Dengan kepemilikan rasa cukup maka konsepsi sufisme ekonomi dengan mudah dapat terwujud. Sederhananya adalah seseorang akan dengan mudah berbuat kebaikan (berderma) tanpa dirinya, keluarganya dan lingkungannya merasa kekurangan. Setelah diajarkan dan diajak untuk menjadi kaya, relevan jika kemudian seseorang dapat diajak untuk bersyukur dan berbuat baik. Hingga pada akhirnya harapan kemaslahatan umat sebagai return jangka pendek dapat terwujud dan dapat dialokasikan pula pada investasi akhirat dengan return jangka panjang atau return yang lebih pasti.
Referensi:
Qoyum, A., Nurhalim, A., Fithriady, F., Pusparini, M. D., Ismail, N., Haikal, M., & Ali, K. M. (2021). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (A. Sakti (ed.); 1st ed.). Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia.
Qoyum, A., & Rizal, A. (2023). PERENCANAAN KEUANGAN SYARIAH Bagaimana Islam Mengatur Tentang Pengelolaan Harta. Raja Grafindo Persada.