Membeli Dagangan di Lampu Merah atau Memberi Donasi?

Oleh: Achmad Rizal, S.E., M.Sc.Fin

Lp-pwnudiy.com, Yogyakarta – Sejalan dengan perubahan zaman dan kemajuan peradaban manusia, berbagai upaya dilakukan untuk mencari nafkah guna mencukupi kebutuhan dan memenuhi keinginan. Sebagian manusia beruntung bisa mendapatkan pekerjaan serta pemasukan yang layak, namun tidak dengan sebagian yang lain yang harus berjuang untuk mengubah nasib ditengah perubahan zaman yang semakin meminimalisir peran manusia. Hal ini merupakan sunnatullah, agar orang yang diberi harta berlebih dapat bersyukur dan menunaikan hak mereka kepada saudara-saudara yang kurang beruntung juga agar mereka menyadari bahwa rezeki Allah tidak hanya berupa harta benda. 

Saat ini kita jumpai berbagai macam cara orang mencari rezeki. Sebagian masyarakat berjuang mempertahankan harga dirinya untuk mencari rezeki yang halal, sedangkan sebagian yang lain mengandalkan bantuan dan belas kasihan dari orang lain. Fenomena ini salah satunya dapat kita jumpai saat berada di lampu merah, di mana terkadang terdapat pedagang berusia paruh baya yang menawarkan berbagai macam dagangannya, mulai dari koran, tisu, minuman, dan berbagai macam buah-buahan. Tidak jarang pula kita jumpai anak-anak muda, yang masih bertenaga dan bisa melakukan banyak hal produktif lainnya berdiri dengan berbagai macam kostum seperti manusia silver, manusia emas, badut, penari, pengamen, dan lain sebagainya.

Berbagai macam cara telah dibuat pemerintah untuk mengatasi fenomena ini. Diantaranya adalah Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang berisi tentang 1) larangan menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil, 2) menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil, 3) membeli kepada pedagang asongan dan memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen dan pengelap mobil. Selain di DKI, di Semarang juga memliki peraturan daerah yang mengatur tentang penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 dan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2017. Berbagai macam program sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), bantuan kepada kelompok tani atau kelompok peternak dan lain sebagainya juga telah dilakukan oleh pemerintah. Meskipun demikian, nyatanya fenomena ini masih banyak kita jumpai.

Fenomena ini disebabkan oleh berbagai macam hal, diantaranya adalah banyaknya masyarakat yang berada dalam garis kemiskinan. Selain itu ketersediaan lapangan kerja juga berbanding terbalik dengan jumlah angkatan kerja. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang kesulitan dalam mencari pekerjaan yang layak. Berdasarkan data dari BPS, penduduk miskin di Indonesia pada September 2022 sebanyak 9,57 % atau 26,36 juta jiwa, meningkat 0,03% atau 0,20 juta orang dibanding dengan Maret 2022. Garis kemiskinan pada periode ini tercatat sebesar Rp 534.547/kapita/bulan. Hal ini berarti masih banyak masyarakat Indonesia yang berpenghasilan kurang dari Rp 600.000 per bulan. Mereka semua adalah warga negara yang seharusnya mendapatkan perlindungan sebagaimana tertulis dalam UUD 1945 Pasal 34 bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Selain itu negara juga berkewajiban untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Pemerintah diharapkan mampu membuat program yang strategis dan terukur untuk membantu mereka keluar dari garis kemiskinan. Proram ini harus didesain sedemikian rupa agar memiliki output yang jelas, bukan hanya untuk menghabiskan anggaran. Selain itu, adanya pelatihan dan pendampingan untuk masyarakat miskin berperan penting untuk memberikan bekal skill yang dapat bermanfaat di dalam dunia kerja. Pemerintah juga harus membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat, salah satunya adalah dengan cara berinvestasi disektor padat karya, bukan hanya sektor padat modal. Disisi lain peran masyarakat juga sangat penting. Hal ini bisa dilakukan dengan membeli produk dalam negeri, khususnya produk UMKM yang dimiliki oleh masyarakat di sekitar kita. Selain bisa membantu para pelaku UMKM, diharapkan kehadiran UMKM tersebut juga bisa membantu membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

Terlepas dari siapa yang harus bertanggung jawab atas fenomena ini, hal ini menimbulkan pertanyaan bagi sebagian orang, apakah mereka para pencari rezeki di jalanan itu mencari rezeki untuk mengejar keinginan atau hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan? Jika kita memiliki kelebihan harta dan berjumpa dengan mereka di jalanan, kepada siapa harus kita salurkan? Langsung berdonasi atau membeli dagangan mereka?

Jika dilihat dari segi sosial, penulis berpendapat bahwa membeli barang di lampu merah, lebih baik daripada hanya memberikan donasi secara percuma dengan berbagai alasan. Pertama, orang yang menjual dagangan berusaha menjaga harga diri mereka dari meminta-minta. Kedua, para pedagang tersebut setidaknya mengeluarkan modal untuk mendapatkan barang dagangannya. Ketiga, jikalau kita tidak membutuhkan barang yang diperjualbelikan, barang tersebut bisa kita berikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Semangat mereka untuk tidak menyerah dan menjaga harga diri harus diapresiasi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, dan mulailah dari orang-orang yang terdekat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *