Surat Pertanggung Jawaban Fiktif, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Oleh: Anggi Puji Saputra (Puji Al-bukhariii)

Hasil gambar untuk spj fiktif

Lp-pwnudiy.com, Yogyakarta – Instansi pemerintah merupakan salah satu bentuk organisasi non-profit yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat umum, seperti peningkatan keamanan, mutu pendidikan, mutu kesehatan, dan lain sebagainya. Pemerintah melakukan berbagai pengeluaran untuk membiayai program kerja yang dilakukan, untuk mencegah pemborosan dan hal-hal lain yang dapat merugikan keuangan, setiap program kerja yang dilakukan oleh organisasi harus dievaluasi dan dipertanggung jawabkan kepada pihak yang berwenang dengan memastikan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan keuangan.

Surat pertanggung jawaban yang akurat dan sesuai dengan realisasi belanja pemerintah sangat diperlukan, surat pertanggung jawaban (SPJ) merupakan dokumen penting yang sering digunakan oleh lembaga pemerintahan dan perusahaan swasta yang mengedepankan prinsip akuntabilitas dan transparansi. SPJ berisi bukti-bukti terkait kelengkapan administrasi pertanggung jawaban keuangan atau hasil realisasi kegiatan yang bersifat teknis dan khusus seperti SPJ pengadaan barang dan jasa, SPJ perjalanan dinas, SPJ dana BOS.

Namun dalam praktiknya sering terjadi penyimpangan dalam pembuatan surat pertanggung jawaban (SPJ) baik di lingkungan pemerintahan maupun di perusahaan. Hal ini terjadi karena beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab mencoba mencari keuntungan dari proyek atau kegiatan yang dilaksanakan yang seringkali berujung pada tindakan korupsi. Salah satu contoh kasus yang mengemuka adalah kasus dugaan korupsi anggaran SPJ fiktif di Dinas Perpustakaan Kabupaten Lahat pada tahun 2020. Kasus ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp429 juta menurut perhitungan audit kerugian negara oleh BPKP Sumsel. Dana sejumlah Rp429 juta mengalir kepada Wakil Ketua DPRD Kabupaten Lahat sebesar Rp100 juta, Sekda Lahat saat itu sebesar Rp40 juta, mantan Sekdin Perpustakaan Lahat sebesar Rp30 juta, serta beberapa Kabid dan Kasi pada Dinas Perpustakaan Lahat.

Perspektif Hukum Islam dan Negara

Pembuatan surat pertanggung jawaban fiktif seperti faktur pembelian, kewajiban pajak/e-billing, dokumentasi yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan termasuk perbuatan bohong yang dilarang serta masuk dalam kategori memakan harta dengan cara yang batil, Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 188:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ  

ࣖ ١٨٨

Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.

Ayat ini menjadi peringatan sekaligus ancaman untuk orang yang berbuat zalim yang mengambil, memakan atau menguasai harta orang lain dengan cara yang batil seperti halnya membuat sumpah palsu, kesaksian palsu, membuat laporan palsu, atau cara-cara batil lainnya. Menurut Syekh Nawawi Banten dalam tafsirnya maksud ayat ini adalah bahwa Allah melarang umat Islam untuk mengambil harta sebagian yang lain dengan cara yang haram menurut syariat. Di antaranya dengan ​​​​​​membawanya ke hakim untuk mengambilnya dengan sumpah dusta dan dalam keadaan sadar bahwa ia berbuat kebatilan. 

Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (dikenal sebagai “UU Tipikor”) yang mengatur tentang kejahatan korupsi disebutkan bahwa pelaku dan orang yang turut membantu pelaku akan dikenai tuntutan pengadilan, hal ini juga tertera pada Pasal 55 ayat (1) KUHP, orang yang turut serta melakukan perbuatan pidana, dipidana sebagai pelaku tindak pidana. Jadi, berdasarkan Pasal 55 ayat (1) KUHP orang yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi juga dipidana dengan ancaman pidana yang sama dengan pelaku tindak pidana korupsi.

Kasus pembuatan SPJ fiktif bisa dijerat layaknya kasus tindak pidana korupsi, disebutkan bahwa hukuman penjara bagi koruptor paling sedikit 4 tahun penjara dan maksimal hukuman penjara 20 tahun, selain itu denda bagi koruptor paling rendah adalah Rp 200 Juta dan maksimal Rp 1 Milyar. Selain itu dana yang telah diterima dari hasil pemalsuan SPJ harus dikembalikan baik kepada instansi pemerintah atau perusahaan, seperti dalam kitab hasyiyah Qalyubi III/205:

(وما يأخذه حرام عليه)…. وحيث حرم لا يملك ما أخذه , ويجب رده إلا إذا علم المعطي بحاله فيملكه)

 “dan sekiranya haram cara mendapatkannya maka barang yang diambil tidak dapat dimiliki, wajib mengembalikan barang tersebut kecuali jika bila mendapat kerelaan dari pihak terkait.”

Sebagai umat muslim kita tentu meyakini segala amal perbuatan yang dilakukan di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti, bukan hanya amal saja akan tetapi setiap harta yang kita miliki juga akan dihisab tentang bagaimana hartanya diperoleh, dibelanjakannya dan bagaimana barang tersebut digunakan, harta yang halal akan mendatangkan keberkahan bagi pemiliknya sedangkan harta yang dihasilkan dengan cara yang haram akan menghancurkan dan menghilangkan keberkahan harta tersebut. 

Wallahu A’lam bis shawab

Referensi

Al-Jawi, M. N. (2006). At-Tafsirul Munir li Ma’alimt Tanzil. Beirut: ,Darul Fikr.

Lubaeb, A. j. (2023, 07 06). Retrieved from Nu Online: https://islam.nu.or.id/tafsir/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-188-larangan-mengambil-hak-orang-lain-secara-batil-TbjWb

Qolyubi, S. A. (1957). Hasiyatan Qulyubi. Mesir: Musthafa Bab Halabi wa Awladih .

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *