Perspektif Islam: Praktik Pembulatan Pengembalian Uang Sisa Pembelian Di Swalayan

Oleh: Nafiatul Ayu Nazilah

Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial yang akan selalu membutuhkan satu sama lain dalam menjalankan aktivitasnya. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk bisa memenuhi berbagai kebutuhan hidup mereka sehari-hari, seperti kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Aktivitas yang dilakukan dapat berupa jasa maupun non-jasa (perdagangan). 

Seiring perkembangan zaman yang semakin maju dan modern diikuti pula pada berkembangnya kegiatan berdagang menjadi lebih modern. Salah satu contohnya pasar swalayan atau supermarket. Dimana pasar swalayan dianggap lebih menarik karena adanya kemudahan serta fasilitas yang nyaman dibanding dengan tempat lain, diantaranya tempat yang bersih, ruang ber AC, pilihan barang yang lengkap, dan konsumen bebas memilih produk saat berbelanja, serta cara pembayaran yang mudah. Di sisi lain munculnya pasar swalayan tersebut memberikan hal-hal baru yang terjadi dalam proses transaksinya yang dianggap berbeda dari kegiatan jual beli yang biasa dilakukan oleh masyarakat di pasar tradisional. Bukan hanya itu praktek-praktek baru dalam kegiatan jual beli ini terlihat kurang sesuai dengan kaidah-kaidah akad jual beli yang ada dalam syariat Islam. 

Dalam jual beli tersebut yang menjadi masalah adalah pada praktek pengembalian uang sisa pembelian. Sering kali ketika pembeli berbelanja di pasar swalayan mendapatkan permen sebagai pengganti dari uang kembaliannya, meskipun sebenarnya kita tidak menginginkan permen tersebut. Permen yang diberikan senilai dengan harga Rp100,- dan Rp150,- sehingga membuat pengelola pasar swalayan kesulitan untuk menyediakan uang pecahan kecil sebagai uang kembalian pembeli. Pada akhirnya mereka terpaksa menggenapkan uang kembalian atau mengganti uang kembalian dengan permen. 

Namun ternyata sekarang kasus ini tidak hanya terjadi di pasar swalayan saja, bahkan di warung-warung dan toko kelontong sering terjadi. Karena hal tersebut banyak masyarakat yang pada akhirnya mulai memaklumi adanya hal-hal tersebut. Masyarakat menyadari bahwa praktek penggantian uang sisa pembelian tersebut terjadi karena adanya situasi yang mendorong sehingga praktek tersebut dilakukan.

Pada realitas sosial yang banyak terjadi, margin laba yang bersaing membuat toko berlomba-lomba memberikan harga yang bervariasi. Sering ditemukan harga barang yang sama di toko yang berbeda seringkali mempunyai selisih yang tipis. Misalnya, roti coklat merk Aikai toko A memiliki harga 1950 rupiah, namun toko B menjual roti coklat dengan merk yang sama seharga 1800 rupiah. Kenyataannya, toko B tidak selalu memiliki stok uang pecahan koin 50, 100 dan 200 rupiah untuk memberi kembalian kepada orang yang membeli roti coklat merk Aikai sehingga memberikan kembalian berupa permen. 

Pada prakteknya, jika toko tidak memiliki pecahan uang untuk kembalian, kasir yang memberikan pilihan kepada pembeli, jika pembeli bersedia, kembalian akan diberikan dalam bentuk permen atau jika pembeli tidak berkenan, kembalian dapat disumbangkan ke program donasi yang tersedia di toko tersebut. Namun, tidak semua pembeli merasa rela menerima kembalian dalam bentuk permen ataupun saat diminta mendonasikan kembalian.

Pertama-tama, kegiatan jual beli merupakan perintah Allah. Hal tersebut tertuang dalam Jual beli dibolehkan dengan adanya dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan juga Ijma ulama. Adapun dari Al-Qur’an adalah firman Allah swt:

    a. Surah Al-Baqarah/2 : 275

    وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

     “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba

      b. Surah An-Nisa/4 : 293

      يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُم  

      Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”

      Dasar hukum berdasarkan sunnah Rasulullah saw, salah satunya yaitu :

      َ“Dari Ibnu Umar bahwasannya Rasulullah saw bersabda: ”Dua orang yang bertransaksi, maka masing-masing dari keduanya boleh memilih atas partnernya selama keduanya belum berpisah, kecuali jual beli khiyar, yaitu ditentukannya pilihan dari awal transaksi.” (Shahih Muslim No. 2821)”

      Ijma’ ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkan itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

      Menurut tinjauan fiqh muamalah, jual beli memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dari jual beli sendiri ada tiga; akad, orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli) dan ma’qud alaih (objek yang dilakukan akad atasnya atau objek yang diperjualbelikan). Sedangkan syarat jual beli  adalah sebagai berikut:

        1. Syarat yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku akad; mereka harus memiliki kompetensi, yakni sudah akil baligh serta mampu memilih. Maka tidak sah jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.

        2. Syarat yang berkaitan dengan objek jual beli; objek jual beli harus suci, bermanfaat, biasa diserahterimakan dan merupakan milik penuh penjual. Maka tidak sah memperjual belikan bangkai, darah daging babi dan barang lain yang menurut syara’ tidak ada manfaatnya. Tidak sah pula memperjualbelikan barang yang masih belum berada dalam kepemilikan atau kekuasaan penjual, barang yang tidak mampu diserahkan dan barang yang berada di tangan seseorang yang tidak memilikinya.

        3. Syarat yang berkaitan dengan shighat akad, yaitu ijab dan kabul dilakukan dengan satu majelis, artinya antar penjual dan pembeli hadir di dalam satu ruangan yang sama, kabul sesuai dengan ijab, contoh aku jual baju ini 10 ribu, pembeli menjawab saya beli baju ini 10 ribu. Namun maksud dari syarat satu ruang ini tidak bermaksud untuk mewajibkan penjual dan pembeli berada dalam satu ruangan khusus. Mustafa Ahmad Az-Zarqa‟ dan Wahbah Zuhaily menjelaskan bahwa satu majelis tidak berarti harus hadir dalam satu tempat, satu majelis maksudnya adalah satu situasi dan kondisi. Sehingga jika tempatnya berbeda namun mereka berada dalam situasi yang sama dan membicarakan objek yang sama, maka jual beli tersebut sudah memenuhi syarat jual beli shighat akad yang mensyaratkan satu majelis. 

          Dalam hal ini Imam Abu Hanifah, jumhur ulama-ulama fiqh termasuk didalamnya ada ulama dari mazhab asy-Syafi’i dari generasi belakangan, yakni Imam Nawawi, secara jelas dan tegas berpendapat bahwa jual beli mu’atah hukumnya adalah sah bila hal tersebut telah menjadi kebiasaan masyarakat dan hal tersebut tidak merugikan pihak lain. 

          Kaidah ushul fiqh juga mengenal istilah ‘Adanya kesulitan memunculkan adanya kemudahan’. Kelangkaan uang koin sebagai alat tukar dapat diganti dengan permen apabila mendapatkan persetujuan pembeli atau rekomendasi untuk melakukan donasi. Hal-hal tersebut sesuai dengan kaidah ushul fiqh. Perlu diperhatikan pula keridhoan atau suka sama suka dari kedua belah pihak.

          Oleh karena itu pandangan Islam tentang penggantian uang sisa pembelian dengan permen adalah diperbolehkan, melihat kelangkaan uang receh sehingga membuat pengelola supermarket atau toko menyediakan permen sebagai gantinya. Hal ini memunculkan hukum satu kaidah yang berbunyi “adanya kesulitan memunculkan adanya kemudahan”. Kemampuan dan potensi yang dimiliki manusia dalam memikul hukum itu berbeda-beda, sehingga perlu diadakan jalan untuk menghindari kesukaran dengan mengadakan pengecualian hukum. Kemudian, praktek mengganti kembalian uang dengan permen menggunakan persetujuan pembeli berarti pada dasarnya pembeli setuju untuk membeli permen senilai dengan uang kembalian yang masih kurang. Jika pembeli tidak setuju untuk mengganti kembalian dengan permen atau mendonasikan kembalian, maka pembeli dapat mempertimbangkan kembali untuk melanjutkan akad jual beli hingga selesai atau membatalkan akad jual beli. 

          Referensi Dan Sumber Bacaan

          Ambarwati. (2017). Analisis Hukum Islam Terhadap Pembulatan Harga di Minimarket Murni Kecamatan Winong, Kabupaten Pati. 

          Departemen Agama RI. (2011). Al-Qur’an dan Terjemahnya (Revisi). 

          Depriando, & Andriko. (2022). Pandangan Ekonomi Islam Terhadap Pembulatan Timbangan Pada Jasa Pengiriman Barang J&T Express. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Islam (Jebi), 2(2), 114–125. Https://Doi.Org/10.56013/Jebi.V2i2.1527 

          Persepsi Masyarakat Terhadap Pembulatan Harga Pada Transaksi Jual Beli Menurut Syariat Islam di Mini Market Indomaret Kelurahan Pontap Kota Palopo. (2020). Journal Of Institution And Sharia Finance, 3(1), 68–84. Https://Doi.Org/10.24256/Joins.V3i1.1444 

          Saharani, Salsabila, M., &Amp; Umaima. (2021). Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Pembulatan Harga Pada Usaha Jasa Laundry Alami Kota Parepare.  BALANCA: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam. Sanata, A., Nilawati, & Gibtiah. (2018). Persepsi Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Raden Fatah Palembang Terhadap Praktek Pembulatan Harga Dari Total Belanja Konsumen di Toko Swalayan. Jurnal Muamalah, 4.

          Tinggalkan Balasan

          Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *